TINTABERITABABEL.COM, PANGKALPINANG — Buntut dari dugaan tindak pidana asusila yang dilakukan oknum anggota Polres Pangkalpinang Bripka ES terhadap tahanan wanita inisial S menjadi perbincangan publik.
Pasalnya, Kasi Propam Polres Pangkalpinang Iptu Candra Harsono, ketika ditemui sejumlah Wartawan,
Selasa (10/8/2021), membenarkan kejadian tersebut dan saat ini sudah masuk atensi pihaknya karena adanya dugaan pelanggaran kode etik.
“Saat ini terduga pelaku sudah kita lakukan proses hukum, yang bersangkutan kita kenakan dengan undang-undang kepolisian tentang kode etik,”kata Candra.
Ditambahkan Iptu Candra, didalam undang-undang kepolisian itu ada tiga pelanggaran yakni pelanggaran disiplin, kode etik dan pidum. Dalam kasus ini untuk terduga pelaku berpangkat Bripka tersebut dikenakan pelanggaran kode etik.
“Saat ini yang bersangkutan memang belum kita sidangkan untuk proses hukumnya pun belum kita pastikan selesai kapan, karena kami masih ada beberapa kasus yang kita dahulukan,”ucapnya.
Kasi Propam menerangkan, ada delapan kasus pelanggaran kode etik yang terjadi lingkup Polres Pangkalpinang, dan baru satu yang disidangkan, jadi kasus lainnya nunggu giliran termasuk kasus dugaan tindakan asusila oknum polisi terhadap tahanan wanita tersebut.
“Dugaan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh oknum tersebut sudah masuk atensi pihaknya, namun perlu dianalisa lebih lanjut, karena nanti setelah melewati sidang dewan pertimbangan karir, kemudian Ankum yakni kapolres yang memutuskannya,”ujarnya.
Namun belakangan, persoalan ini dibantah oleh Kasat Reskrim Polres Pangkalpinang, AKP Adi Putra. Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp pada Rabu (11/8/2021) malam.
Ia mengatakan kalau berita yang viral dari media online oknum polisi diduga perkosa tahanan wanita di polres pangkalpinang’ tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan terkesan dengan sengaja dilebih-lebihkan sehingga membuat gaduh dan sangat menyudutkan atau berdampak buruk terhadap institusi polri khususnya Polres pangkalpinang.
“Tidak benar ada oknum anggota Polres Pangkalpinang melakukan perkosa atau pemerkosaan terhadap tahanan wanita, pemberitaan dengan kata ‘Perkosa’ itu yang kami garis bawahi sehingga hal ini sudah menjadi pengiringan opini publik berita bohong dan di viralkan sehingga timbul kegaduhan dan merugikan orang lain,”ucapnya melalui pesan whatsapp.
Ia menerangkan, kata ‘Perkosa’ artinya ada unsur kekerasan yang sudah terjadi dan ada korbannya, bila tidak ada kekerasan yang terjadi dan tidak ada korban yg merasa di perkosa namun di tulis “Perkosa’ maka hal itu sudah menyebarkan berita bohong dan tentunya ada yang dirugikan karena akibat berita bohong ini atau setidaknya sudah membuat berita tanpa hak legalitasnya.
Dikatakannya, dalam unsur pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP adalah adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, dan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh.
“Setiap wartawan profesional pasti taat akan kode etik jurnalistik yakni menaati kode etik diantaranya legal, independen, akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk, faktual, jelas sumbernya dan tidak plagiat,” jelasnya
Selain itu, kata AKP Adi Putra dalam pesan tersebut, profesional itu beritanya berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, menerapkan asas praduga tak bersalah, tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, cabul.
Kemudian tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi sara, hormati kehidupan pribadi, kecuali untuk kepentingan publik, layani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
“Maka dalam hal unit tipiter syber crime sat reskrim polres pangkalpinang akan melakukan penyelidikan terkait UU ITE nya,”ujar AKP dalam pesan Whatsapp.
Namun saat ditanya kembali terkait status korban apakah sudah berkeluarga apa belum? dan bagaimana prosedur membawa orang yang berstatus tahanan untuk keluar sel?apakah diperbolehkan? dan kalau boleh siapa saja yang bisa membawa tahanan keluar, atas izin siapa?
Kasat Reskrim menjawab “Setiap ada perbuatan salah pasti ada sangsinya berikut juga pemberitaan yg tidak sesuai fakta maka akan kita proses sesuai prosedur hukum yang berlaku” ucapnya.
Menyikapi hal ini, menurut ahli hukum sekaligus dosen hukum Universitas Bangka Belitung (UBB), Dr. Dwi Haryadi, S.H., M.H menerangkan, delik perkosaan dapat kita lihat dalam Pasal 285 KUHP yang isinya barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Berdasarkan ketentuan di atas, lanjut Dr Dwi, pertama delik ini merupakan delik biasa dan bukan delik aduan, artinya penegak hukum dapat memprosesnya meskipun tidak ada laporan atau pengaduan dari pelapor atau korban. Kedua, unsur dari delik ini meliputi delik barang siapa yang berarti setiap orang. Kemudian perbuatan perkosaan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Artinya ada kekerasan baik secara fisik maupun psikis dan ini akan terlihat misalnya dalam gelar perkara serta keterangan saksi korban, tersangka, saksi ahli, hasil visum dan lain-lain yang digali atau terungkap ditahap penyidikan, sampai dengan persidangan.
Lalu unsur lain yakni bahwa objek perkosaan adalah perempuan yang bukan istrinya. Tentu ini pembuktiannya bisa dicek apa hubungan korban dengan orang yang terduga pelaku perkosaan. Kesemua unsur-unsur ini tentu harus terpenuhi sehingga dapat dikatakan delik perkosaan terjadi dan dapat menjerat pelaku.
Dalam proses penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di pengadilan proses pembuktian berjalan sesuai dengan hukum acara pidana melalui 5 alat bukti yang diatur.
Seseorang yang diduga melakukan tindak pidana perkosaan tentu berlaku asas praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam KUHAP maupun Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sampai dengan diketok palu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam penjelasan KUHAP, Kata Dr Dwi, disebutkan bahwa Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap
“Adalagi menurut pendapat M. Yahya Harahap. Perihal ini disampaikan bahwa tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan yang menjadi objek pemeriksaan, ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap,”ujarnya.
Kemudian, Kantor Hukum ‘Simpul Law Office’, Syahrial Rosidi mengatakan, dari pengamatannya berita tersebut sudah memenuhi unsur asa praduga tak bersalah serta memiliki narasumber yang sangat kompeten dalam menjelaskan permasalahan tersebut.
“Selagi disebutkan ada kata ‘terduga/dugaan’ yang menerangkan asas praduga tak bersalah, yang menyatakan belum adanya putusan, baik itu dengan diksi apapun belum tidak bisa dinyatakan memiliki unsur fitnah,” ujarnya
Mengenai apa yang dimaksud dengan asas praduga tak bersalah, orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Jika dikaitkan dengan pemberitaan pers mengenai suatu tindak pidana dan asas praduga tak bersalah, maka kita perlu melihat ketentuan-ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dan Kode Etik Jurnalistik yang disusun Dewan Pers.
Jika dalam hal ini, terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain, maka mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh adalah melalui hak jawab menurut pasal 5 ayat (2) UU Pers dan hak koreksi menurut pasal 5 ayat (3) UU Pers. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
“Menurut Kode Etik Jurnalistik, penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sedangkan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers,” terangnya. (TB)