PANGKALPINANG – Direktur Ditreskrimsus Polda Bangka Belitung, Kombes Haryo Sugihartono mengatakan pihak penyidik sedang mendalami Laka tambang yang terjadi di wilayah Sarang Ikan, Lubuk Besar, Bangka Tengah, pada Sabtu sore (29/08). Diketahui bersama Laka tersebut telah menewaskan 6 orang. Masing-masing: Dedi, Sugeng, Hery, Heri, Yanto, dan Aldi. “Kita masih mendalaminya, untuk saat ini baru pemeriksaan saksi-saksi. Prosesnya sedang berlangsung saat ini,” kata Haryo Sugihartono kepada harian ini kemarin.
Terkait adanya sorotan tajam publik atas kasus laka ini, terutama dari pihak Walhi menurutnya wajar saja. Dikarenakan Laka yang menelan korban kali ini terbilang banyak. “Selain itu juga kasus serupa kerap terjadi berulang-ulang. Dalam hal ini kita akan melakukan pendalaman dulu, dan bilamana ada unsur pidananya pasti kita lanjutnya ke proses hukum,” ujarnya.
Terkait laka tambang ilegal yang menewaskan 6 orang -1 di antaranya di sebut-sebut pemilik- di wilayah Sarang Ikan, Lubuk Besar, Bangka Tengah, pada Sabtu sore (29/08), membuat LSM Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) angkat bicara. Walhi mengkritisi kecelakaan atau laka tambang yang terus berulang-ulang tanpa ada penyelesaian bijak dan solutif dari pemerintah daerah. Pihak WALHI juga mempersoalkan atas buruknya tata kelola atas hulu hingga hilir pertimahan selama ini.
“Kerusakan lingkungan dan kematian sebab laka tambang ibarat dua sisi mata uang. Di balik semua itu, ada soal pelanggaran HAM yang tidak pernah terungkap dari rantai bisnis tambang timah selama ini. Oleh karena itu, korporasi tambang, baik BUMN maupun swasta mutlak dimintai pertanggungjawaban,” kata Direktur Eksekutif Daerah WALHI Bangka Belitung, Jessix Amundian, kepada harian ini.
WALHI mencatat, dalam semester awal 2020 saja sudah 16 orang meninggal akibat laka tambang. Dari 16 orang korban korban, ironinya 1 diantaranya masih berstatus anak-anak. Jika menilik 3 tahun kebelakang yakni dari 2017 s/d 2019, terdapat 40 korban laka tambang.
“Data yang kita paparnya ini, yang jadi korban itu adalah ingkungan dan masyarakat atau pekerja tambang. Mereka yang selalu menjadi korban atas buruknya tata kelola semua ini. Lebih ironinya lagi dimana seluruh pihak terkait, menganggap fakta tersebut seperti angin lalu. Dengan begitu kita berpandangan ada persoalan abai terkait HAM atas kejahatan lingkungan dalam aktivitas tambang timah di Bangka Belitung,” sesal Jessix.
Dia katakannya, lemahnya pengawasan yang disertai tanpa adanya audit lingkungan dan moratorium tambang kian memperburuk tata kelola sumber daya alam tambang timah di Bangka Belitung. Dia mendesak agar korporasi tambang yang terlibat menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan atau pemurnian, serta menjual pasir timah yang bukan dari wilayah IUP nya, mutlak di minta pertanggungjawaban.
“Negara harus hadir membawa timbangan keadilan itu. Untuk memastikan keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat di Bangka Belitung. Baik untuk generasi sekarang dan mendatang,” ujarnya.
Sebelumnya pada Sabtu sore yang kelam itu, 6 orang alami tertimbun tanah longsor. 6 orang korban itu: Dedi (pemilik), selebihnya pekerja yakni Sugeng, Hery, Heri, Yanto, dan Aldi. Jasad para korban baru ditemukan pada Minggu siang sekitar pukul 01.30 WIB. Pencarian jasad tersebut melibatkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan tim SAR gabungan serta masyarakat setempat. (tim)