Oleh Des Kurniawan,S.H Pengamat kebijakan Publik.
Berita di salah satu harian Babel dengan judul dugaan pemufakatan jahat terkait anggaran 2023,TAPD Pemkab Bangka dan Banggar DPRD diperiksa Kejati menarik perhatian penulis dan masyarakat khususnya dikalangan ASN.
Dimana kondisi Keuangan Kabupaten Bangka Tahun Anggaran 2023 yang mengalami defisit hingga Rp 147 Milyar berbuntut pemeriksaan terhadap sejumlah Pejabat Pemkab Bangka dan Pimpinan DPRD oleh Kejaksaan Tinggi Babel. Diketahui dengan kondisi keuangan yang mengalami defisit, anggaran dinas luar (DL) Pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Bangka justru mendapat suntikan anggaran sebesar Rp 18 Milyar sementara anggaran dinas-dinas mengalami recofusing bahkan ironisnya honor tenaga pendidik guru PAUD,TK,dan TPQ yang perbulannya hanya Rp 300 ribu justru dpotong menjadi Rp130 ribu.
Penambahan anggaran Rp 18 milyar untuk pos perjalanan dinas DPRD ditengah defisit keuangan Rp 147 Milyar diduga menjadi alasan Kejaksaan Tinggi Babel untuk mengungkap adanya dugaan mean rea dan permufakatan jahat TAPD Pemkab Bangka dan Banggar DPRD Bangka (sumber forumkeadilanbabel.com).
Tindakan Kejaksaan Babel memproses pos anggaran Perjalanan dinas angota DPRD merupakan
terobosan hukum dan langkah maju serta patut diacungkan jempol dalam Pemberantasan korupsi karena sebagaimana kita ketahui bahwa kejahatan korupsi merupakan kejahatan extra ordinary crime yang sifatnya sangat merusak dalam upaya Negara menyejahterahkan rakyat dan perekonomian nasional.
Korupsi bukan hanya kejahatan yang merugikan keuangan Negara tapi berdampak juga pada seluruh program pembangunan, pendidikan,kesejahteraan dan peningkatan kemiskinan.Pencegahan dan pemerantasan korupsi menjadi isu penting yang menjadi perhatian semua komponen masyarakat termasuk praktisi dan akedemisi karena tindak pidana korupsi dianggap menciderai rasa keadilan masyarakat.
Pelaku tindak pidana korupsi biasanya orang-orang yang memiliki tingkat kepedulian social yang rendah dan memiliki gaya hidup mewah. Pada perkembangannya pelaku tindak pidana korupsi memiliki kemampuan menyembunyikan harta kekayaannya dari lingkungan sekitar sebagai bentuk kamuflase. Berbagai modus operandi dalam melakukan tindak pidana korupsi mampu menghambat pengungkapan penegakan hukum bagi pelaku koruptor.
Banyak pihak yang merasa terancam dalam upaya pencegahan dan pemerantasan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum. Mereka melakukan upaya_upaya yg diperbolehkan dalam Perundang-undangan termasuk dalam kasus ini pihak eksekutif dan legislative dalam penyusunan pos anggaran perjalanan dinas DPRD telah melaui tahapantahapan perencanaan dan pembahasa baik ditingkat eksekutif maupun di legislative.
Sebenarnya pos anggaran perjalanan dinas bagi anggota dewan yang nilainya fantastis bukanh anya di kabupaten Bangka saja tapi merata diseluruh Indonesia.Seperti anggaran perjalanan dinas anggota DPRD Provinsi Babel Tahun 2024 ini yang mencapai Rp 40 Milyar lebih untuk anggota DPRD yang hanya berjumlah 45 orang.
Menjadi ironi disaat Pemerintah daerah mengalami defisit anggaran,angka stunting yang tinggi dan gizi buruk, kemiskinan yang merajalela wakil rakyatnya minta tambahan anggaran perjalanan dinas atas nama kegiatan konsultasi,koordinasi,atau studi tiru yang outputnya tidak jelas sampai sekarang.
Menarik sekali penggunaan delik Pemufakatan jahat (samenspanning) yang digunakan kejaksaan tinngi Babel dalam menjerat pelaku pemborosan anggaran perjalan dinas DPRD tersebut .
Apa sih sebenarnya permufakatan jahat itu? Pemufakatan jahat dam bahasa Belanda disebut samenspanning, sedangkan dalam bahasa inggris disebut conspiracy, dalam bahasa Indonesia disebut persekongkolan. Permufakatan jahat diatur dalam pasal 15 Undang_Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang melakukan percobaan,pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU_XIV/2016,pasal 15 Undang_Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut sebatas berkaitan dengan frase Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana.
Dalam kasus ini tentu saja pemufakatan jahat tersebut dikaitkan dengan unsur –unsur pasal korupsi yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
Pemufakatan jahat menurut pasal 88 KUHP terjadi apabila dua orang atau lebih sepakat akan melakukan kejahatan. Pemufakatan jahat dianggap telah terjadi setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan kejahatan,meskipun pada akhirnya tindak pidana tidak atau belum dilakukan.Jadi walaupun baru tahapan niat saja untuk melakukan perbuatan jahat dapat dikenakan delik pidana.
Tindak pidana pemufakatan jahat ini berbeda dengan tindak pidana percobaan (poging) yang diatur dalam pasal 53 KUHP. Dalam tindak pidana percobaan harus memenuhi 3 unsur yaitu niat, permulaan pelaksanaan dan perbuatan tersebut tidak selesai diluar kehendak pelaku.Sedangkan tindak pidana pemufakatan jahat cukup dengan niat saja sudah dapat dipidana.
Kasus Anggodo Wijoyo merupakan contoh digunakannya delik pemufakatan jahat oleh hakim untuk memutus perkara, Anggodo dan ari mulyadi dituntut melakukan pemufakatan jahat dalam kasus suap kepada Penyidik KPK dan pimpinan KPK dalam rangka pengurusan proses hukum tterhadap anggoro wijaya dan PT masaro Radiokom.
Sementara dalam kasus lain banyak delik pemufakatan jahat tidak dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara seperti kasus Sjhahrir Djohan oleh jaksa,sjhahril dinilai telah melakukan pemufakatan jahat karena menjadi perantara pemberi uang dari Haposan Hutagalung kepada komjen Susno Duaji.
Dalam persidangan,Shahril Djohan berhasil meyakinkan hakim bahwa tidak terjadi pemufakatan jahat terkait kasus tersebut.Sharil beralasan dalam pertemuan tersebut ia hanya mendengar, tanpa merespon atau menindaklanjutinya. Pembuktian kesepakatan dalam kasus syahrir merupakan contoh kesulitan yang dialami penuntut umum dam membuktikan kesepakatan para pihak dalam kasus pemufakatan jahat.
Pemufakatan jahat memang memiliki sejumlah kelemahan berkaitan dengan sulitnya proses pembuktian terutama berkaitan dengan unsur kesepakatan.
Pendapat pertama menyatakan harus ada kesepakatan yang jelas antara penyuap dengan pemberi suap atau pemeras dengan yang diperas,sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa kesepakan tersebut tidaklah diperlukan.
Menurut Prof.Eddy os hiariej guru besar hukum pidana UGM konsep kesepakatan tersebut perlu dibuktikan dengan adanya meeting of mind yang idak mengharuskan adanya kesepakatan antara yang disuap dengan penyuap atau pemeras dengan yang diperas.
Namun demikian, dengan adanya kesepakatan 2 orang atau lebih untuk meminta sesuatu tanpa harus ada persetujuan dari yang akan menyuap atau yang akan diperas kiranya sudah cukup kuat.
Ditegaskanya pula bahwa meeting of mind tidak perlu dengan kata-kata yang menandakan persetujuan secara eksplisit akan tetapi cukup dengan bahasa tubuh dan kalimat-kalimat yang secara tidak langsung menandakan adanya kesepakatan.
Adapun dasar pemikiran yang digunakan adalah Pasal 55 KUH tentang delik penyertaan.Selain itu didalam teori hukum pidana dikenal dengan istilah sukzessive mittaterscraft yang berarti adanya keikutsertaan dalam suatu kejahatan termasuk pemufakatan jahat dapat dilakukan secara diam-diam, pada alat bukti diatas.
Pemufakatan jahat juga memiliki permasalahan kaitan dengan pembuktian.
Menurut Pasal 184 KUHP,alat bukti pada kasus pidana meliputi keterangan saksi, keterangan ahli,surat,petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan unsur pembuktian kesepakatan bagi pemufakatan jahat akan sangat sulit dilakukan di persidangan jika hanya dilandaskan pada alat bukti diatas.
Dalam revisi KUHP terbaru ditegaskan bahwa tindak pidana pemufakatan jahat dapat dikenakan apabila apabila ditentukan secara tegas dalam Undang-undang. KUHP juga memberikan kesempatan kepada pelaku pemufakatan jahat yang beritikad baik untuk tidak dipidana apabila menarik diri dari kesepakatan atau mengambil langkah-langkah yang patut untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
Pemberian kesempatan sebagai celah dalam penerapan hukuman terhadap pelaku pemufakatan
jahat, hendaknya dilakukan dengan hati-hati karena dasar penjatuhan pidana ini adalah niat , sehingga apabila seseorang sempat melakukan pemufakatan jahat berarti telah ada niat dan berarti tindak pidana telah terjadi.
Dalam tindak pidan pemufakatan jahat harus ada meeting of minds atau menrea karena pemufakatan jahat tersebut merupakan kejahatan conspiracy sehingga harus ada kesamaan kehendak atau niat diantara orang-orang yang melakukan pemufakatan jahat tersebut.Terhadap meeting of minds diperlukan adanya perbuatan baik kelakuan timbul akibat yang dilarang undang-undang.
Pemufakatan jahat merupakan perbuatan yang membutuhkan kesalahan atas perbuatan yang dilarang sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam tindak pidana pemufakatan jahat dalam perkara korupsi,para pihak harus sepakat untuk melakukan tindak pidana, harus mewujudkan rencana pemufakatan jahat tersebut baik untuk sebagian saja ataupun secara keseluruhan,harus ada kerugian Negara, dan harus ada unsur memperkaya diri sendiri dan atau orang lain ataupun korporasi. Apabila tidak,maka sama dengan mempidana kehendak atau niat tanpa perbuatan.
Penulis meyakini bahwa jaksa penuntut umum akan mudah membuktian kasus ini karena posa nggaran perjalanan dinas kasus diatas sudah melalui tahapan-tahapan perencanaan sampai pembahasan serta pengundangan dengan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah sehingga kasusnya menjadi terang benderang. (**)