HANOM CS TILEP DUIT APBD DI BPRS MUNTOK SEJAK 2016

oleh -35 views

PANGKALPINANG – Tim jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Muntok, yang diketuai Dr Agung Dhedi Dwi Handes memaparkan gamlang proses terjadinya korupsi fasilitas pinjaman modal bagi nelayan oleh terdakwa Kurniatiyah Hanom mantan pimpinan cabang PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Cabang Muntok dan Metaliyana selaku mantan kepala bagian operasional.
Dalam dakwaan yang dibacakan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Kota Pangkalpinang yang diketuai Rendra Yozar, berawal sejak tahun 2012 hingga 2015 terjalin kerjasama pembiayaan berupa pinjaman modal bagi nelayan bersumber dari APBD pada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemkab Bangka Barat bekerjasama dengan PT BPRS selaku pihak penyalur kredit.
Dalam penyaluran tersebut, pihak BPRS secara legal memperoleh fee sebesar 8 persen yang langsung dibayar di muka dari besaran dana yang dikucurkan oleh Pemda melalui DKP. Dengan begitu BPRS juga tidak boleh memungut apapun seperti bunga ataupun bagi hasil. Adapun pembiayaan untuk para nelayan tersebut berjangka 5 tahun.
Berikut rinciannya:
Tahun 2012 kucuran sebesar Rp 805.959.000 untuk 11 kelompok nelayan fee Rp 64.675.720. Tahun 2013 kucuran Rp 835.420.000 untuk 14 kelompok nelayan fee Rp 66.833.600. Tahun 2014 kucuran Rp 825.000.000 untuk 15 kelompok nelayan fee Rp 66.000.000 dan tahun 2015 kucuran Rp 891.990.000 untuk 17 kelompok nelayan fee Rp 71.359.200.
Sejak 2012 hingga 2015 penyaluran serta pengembalian dana tersebut berlangsung aman dan lancar. Namun kejahatan mulai nampak di tahun 2016. Setidaknya terlihat dari pergantian rekening penampung dan pembayaran angsuran yang dilakukan pihak PT BPRS sendiri. Yakni yang awalnya rekening nomor Pemda QQ APBD 90030477228 (tabungan bagi hasil) menjadi rekening Pemda QQ APBD DKP dengan nomor rekening 90035000032 (tabungan Wahdiah Umum) atas nama Elly Sri Darma Putri Ningrum.
2016 Hanom cs mulai menggarong uang yang berada di rekening tersebut. Dari rekening 90035000032 itu Hanum melakukan penarikan illegal sebanyak 48 kali sejak periode 15 Juni 2016 sd 20 Maret 2018. Adapun tarikanya tak tanggung-tanggung paling kecil berkisar Rp puluhan juta dan terbesar di atas Rp 100 juta. Dalihnya menyedot fulus nelayan itu untuk meminjam dana DKP.
Dalam dakwaan, dikatakan, ulah garong seorang Hanom cs tersebut menyebabkan negara dirugikan mencapai Rp 5.684.055.000. Fulus tersebut digunakanya untuk kepentingan pribadi mulai dari jalan-jalan ke luar negeri seperti Singapura. Tidak hanya itu, dia juga menggunakan piti-piti untuk bisnis timah, proyek di Pangkalpinang, beli mobil hingga bangunan.
Hingga akhirnya seorang Hanom menyadari kalau dia sudah terlalu dalam merogoh kocek nelayan. Untuk mengembalikan uang tersebut Hanom mengumpulkan anak buahnya, mulai dari kepala bagian (Kabag), Legal hingga staf marketing di kantor kas Kelapa. Di sanalah kemudian terjadi pemufakatan jahat yang mana anak buahnya dikerahkan untuk mencari nasabah fiktif.
Puncaknya, terkumpulah 46 nasabah fiktif (nelayan) yang dibuat Hanom. Adapun totalnya sebesar Rp 4.784.641.852. Ironinya di antara 46 nasabah fiktif itu terdapat 3 orang nasabah dari keluarga Hanom sendiri. Salah satunya adalah orang tuanya sendiri yakni Mukhdor.
Dalam tabulasi fiktif itu jaksa memaparkan Mukhdor dikucur Rp 200 juta. Sementara itu keluarganya yang lain Erna Sulisyati dan Elly Moniteria masing-masing Rp 100 juta. Ada cerita lucu, 46 nasabah fiktif itu petugas office boy BPRS juga miliki peran dalam mencari KTP nelayan untuk nasabah fiktif itu.
Terpisah penasehat hukum Rafiqkhan Ilahi mengaku keberatan dengan dakwaan JPU yang terkesan menyudutkan klienya itu. Menurutnya masih banyak pihak yang harus dimintain pertanggung jawaban sama dengan Hanom. Seperti bagian Legal yakni Iedil Fadliyansyah. “Bagian legal tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab ini semua. Karena bagian Legal itulah yang menyatakan apakah nasabah-nasabah itu yang disebut fiktif itu layak mendapat pinjaman atau tidak,” katanya.
Sementara itu di pihak DKP Pemkab Bangka Barat, dikatakanya, juga dinilai tidak melakukan pengawasan yang benar terhadap keuangan daerah. Sehingga uang negara di dalam sebuah bank dapat dengan mudahnya disalahgunakan. “Sebagai wujud keberatan kita, pada sidang berikutnya akan mengajukan eksepsi. Tidak hanya itu kita juga harus buka-bukaan, jangan sampai klien kita terkesan ditumbalkan,” tukasnya. ( TIM )

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.